Rasionalitas.com – Bayangkan Anda sedang terdesak. Gaji belum turun, anak harus bayar sekolah, dan tagihan listrik sudah lewat jatuh tempo. Lalu, muncullah iklan di ponsel Anda: “Pinjam sekarang, cair dalam 5 menit, tanpa ribet!”. Klik. Isi data. Uang pun masuk.
Mudah, bukan? Tapi Anda tidak tahu, ini adalah awal dari lingkaran utang yang bisa menghancurkan hidup.
Pinjaman online atau pinjol bukan hanya sekadar fenomena digital. Ia sudah menjadi alat pemiskinan modern yang menyasar rakyat kecil dengan sistem yang licin dan nyaris tanpa perlindungan. Lalu muncul pertanyaan yang lebih tajam: Apakah benar negara hanya diam melihat semua ini? Atau justru ikut bermain di dalamnya?
Negara, Regulasi, dan Pembiaran Sistemik
Secara formal, negara melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membentuk daftar pinjol legal dan ilegal. Namun realitas di lapangan jauh dari ideal. Ribuan aplikasi pinjol ilegal terus muncul silih berganti. Anehnya, banyak dari aplikasi ini bisa bertahan lama, mengakses data pribadi, dan mengintimidasi korban tanpa tindakan tegas.
Mengapa ini bisa terjadi di negara yang katanya punya hukum dan regulasi digital?
Karena regulasi yang longgar, sistem pengawasan yang lemah, dan yang paling mencurigakan adanya pembiaran yang nyaris sistemik. Banyak pinjol ilegal yang tetap tayang di Google Play Store. Banyak juga laporan korban yang diabaikan polisi. Apakah negara benar-benar tidak mampu? Atau sebenarnya tidak mau?
Ada juga fenomena menarik: beberapa pinjol legal ternyata berafiliasi dengan lembaga keuangan resmi dan modal ventura yang terdaftar secara sah. Bahkan beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan BUMN atau anak usaha BUMN. Maka, pertanyaan ini tak bisa lagi dihindari: siapa sebenarnya yang mendapatkan keuntungan dari penderitaan rakyat kecil?
Data dan Fakta yang Tak Bisa Disangkal
Mari kita bicara dengan angka:
- Menurut OJK (2023), terdapat 104 pinjol legal yang beroperasi.
- Namun, Kominfo menemukan lebih dari 5.000 pinjol ilegal diblokir sepanjang 2019–2023.
- Sejak 2020, tercatat lebih dari 14 juta akun pengguna telah menggunakan layanan pinjol.
- Hingga 2024, jumlah akumulasi utang pinjol mencapai Rp 52 triliun, dengan mayoritas debitur berasal dari kalangan usia produktif (20–40 tahun).
Mereka yang menjadi korban tidak hanya kehilangan uang, tapi juga harga diri. Ancaman sebar data, pemerasan digital, bahkan kasus bunuh diri, telah menjadi cerita nyata. Lalu, di mana negara?
Kutipan menarik datang dari Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, yang menyebut bahwa regulasi pinjol di Indonesia “terlalu permisif” dan “tidak melindungi konsumen secara maksimal”. Bahkan menurutnya, ada indikasi bahwa “negara mendapat keuntungan tidak langsung dari industri ini, melalui pajak atau investasi BUMN”.
Ketika Negara Tak Hadir: Sebuah Kisah Nyata
Namanya Ani (bukan nama sebenarnya), ibu rumah tangga di Bekasi. Ia awalnya meminjam Rp 1,5 juta dari satu aplikasi pinjol untuk biaya pengobatan anak. Dalam sebulan, utangnya menjadi Rp 5 juta karena bunga harian, denda, dan biaya administrasi tersembunyi.
Ani lalu meminjam dari pinjol lain untuk menutup utang pertama. Begitu terus. Sampai akhirnya dia terjebak di 20 aplikasi pinjol ilegal, dengan total utang Rp 28 juta. Ia diancam akan disebarkan fotonya ke kontak WhatsApp, diteror setiap hari, dan bahkan hampir kehilangan pekerjaannya karena malu.
Sudah ke kantor polisi? Sudah. Tapi dijawab, “Itu ranah perdata, Bu.”
Sudah lapor ke OJK? Sudah. Tapi hanya dibalas dengan surat automated tanpa solusi nyata.
Apakah ini bukan bentuk kegagalan negara?
Negara Tak Boleh Lepas Tangan
Kalau negara tidak sengaja membuat pinjol, kenapa mereka begitu lambat dan lemah menindak pelakunya? Kenapa perusahaan pinjol bisa dengan mudah dapat izin, namun sulit dihentikan ketika menyalahgunakan wewenang?
Negara tidak bisa hanya jadi “wasit” dalam situasi timpang seperti ini. Negara harus turun tangan sebagai pelindung, bukan sekadar pengamat yang mencatat statistik korban.
Jika tidak, maka wajar bila muncul kecurigaan bahwa negara diam karena diuntungkan, entah lewat pajak, investasi, atau bahkan sebagai alat kontrol sosial terhadap rakyat miskin.
Saatnya Bersikap: Jangan Lagi Diam
Anda sebagai pembaca tidak boleh hanya menjadi korban diam. Kita harus lebih kritis, lebih waspada, dan lebih berani menuntut akuntabilitas negara. Jangan mudah tergiur tawaran instan pinjol, dan jangan ragu untuk bersuara jika Anda atau orang di sekitar Anda menjadi korban.
Karena kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?
FAQ: Pertanyaan Umum Seputar Pinjol & Negara
Q: Apa benar semua pinjol itu ilegal?
A: Tidak. Ada ratusan pinjol legal yang diawasi OJK, tapi banyak juga yang menyalahgunakan status legal untuk praktik kotor.
Q: Mengapa pinjol masih marak padahal banyak yang melanggar hukum?
A: Karena lemahnya penegakan hukum dan pembiaran dari pihak-pihak berwenang.
Q: Apa peran OJK dan Kominfo dalam menanggulangi pinjol ilegal?
A: Kominfo memblokir situs/aplikasi, sedangkan OJK mengatur dan memberi izin. Namun efektivitasnya masih dipertanyakan.
Q: Apakah negara mendapatkan keuntungan dari industri pinjol?
A: Secara langsung melalui pajak dan investasi, secara tidak langsung melalui pertumbuhan fintech. Tapi apakah itu sepadan dengan penderitaan rakyat?
Leave a Comment