Rasionalitas.com– Ketika agama menjadi pusat identitas negara, banyak yang berharap akan tercipta masyarakat yang adil, beradab, dan bermoral. Tapi kenyataannya, banyak negara yang sangat religius justru tertinggal dalam hal teknologi, kebebasan sipil, dan kemajuan ekonomi.
Apakah ini kebetulan? Atau justru ada hubungan yang lebih dalam antara religiusitas negara dan stagnasi kemajuan? Kenapa elit agama kaya raya?
Agama Sebagai Alat Kekuasaan, Bukan Sumber Spiritualitas
Dalam banyak kasus, agama bukan lagi soal nilai atau spiritualitas, melainkan alat politik. Ketika pemimpin mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakan, kritik pun dianggap sebagai penistaan, bukan diskusi. Ini berbahaya. Negara jadi tidak bisa dibedakan dari mimbar, dan hukum negara dikalahkan oleh tafsir agama.
Hasilnya? Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, hilangnya ruang dialog, dan pengambilan keputusan yang tidak berbasis pada akal sehat atau kepentingan umum.
Negara seharusnya netral, bukan karena menolak agama, tapi karena ingin melindungi semua warga — apapun keyakinannya.
Sains dan Akal Sehat Terbelenggu
Negara yang terlalu mengedepankan tafsir keagamaan sering kali memandang ilmu pengetahuan dengan curiga. Teori evolusi dianggap sesat, riset-riset medis dikekang oleh “fatwa”, dan pendidikan diarahkan bukan untuk membebaskan pikiran, tapi untuk menanamkan dogma.
Di sini, inovasi mati sebelum sempat tumbuh. Sementara negara-negara sekuler melaju dengan riset, AI, dan teknologi hijau, negara religius masih sibuk berdebat soal moralitas rok pendek.
Budaya Takut dan Anti-Kritik
Di negara religius, kritik bukan cuma dianggap salah — tapi juga dosa. Siapa pun yang mempertanyakan status quo akan dicap sebagai pemberontak, pemurtad, bahkan kriminal. Budaya ini melahirkan masyarakat yang apatis, penakut, dan akhirnya pasrah. Tidak ada ruang untuk berpikir berbeda, padahal kemajuan hanya mungkin lahir dari pertanyaan, bukan kepatuhan membabi buta.
Agama Tidak Salah — Tapi Negara Harus Netral
Bukan berarti agama tidak penting. Sebaliknya, banyak orang mendapatkan kedamaian, nilai hidup, dan motivasi berbuat baik dari agama. Tapi ketika institusi agama terlalu mencengkeram negara, potensi destruktifnya besar. Kita tidak perlu meninggalkan iman untuk maju, tapi kita perlu memisahkan antara iman pribadi dan urusan publik.
Kesimpulan: Negara Harus Lindungi Kebebasan, Bukan Menjual Surga
Maju tidak berarti harus ateis, tapi negara yang ingin maju harus memberi ruang bagi semua — termasuk mereka yang berpikir berbeda. Negara beragama kerap gagal bukan karena agamanya salah, tapi karena mereka memaksakan satu kebenaran atas banyak kepala. Padahal, kemajuan butuh dialog, kebebasan berpikir, dan keberanian untuk mempertanyakan hal yang dianggap “suci”.
Mungkin kita perlu berhenti bertanya, “Agama apa yang paling benar?” dan mulai bertanya, “Negara seperti apa yang paling adil untuk semua orang?”
Leave a Comment